Senin, 09 Februari 2009

TENTANG KAMI

Kelompok Teater Kami adalah sebuah kelompok teater yang didirikan di atas wilayah kreatifitas yang sangat terbuka pada berbagai tema dengan pendekatan yang khas dan unik dalam harmonisasi bahasa tubuh dan bahasa teks. Dalam pola pengucapan dialog, diksi sangat kuat diperhitungkan bunyinya. Proyek-proyek penciptaannya senantiasa didasarkan pada semangat untuk melakukan interpretasi baru - dengan cara yang sangat bebas - terhadap teks-teks dramatik yang telah dikenal secara luas lewat bentuk-bentuk pemanggungan yang imajinatif. Teks-teks yang telah diselesaikan dengan baik oleh pengarangnya akan diuji dengan keras sebelum akhirnya dilahirkan sebagai teks pemanggungan yang akan diwujud-tampakan di hadapan penontonnya,

Selasa, 03 Februari 2009

Harris Priadie Bah




Dilahirkan pada penghujung minggu pertama bulan Januari 1966 dari orangtua yang tidak memiliki darah seni. Memulai karirnya sebagai aktor di Teater Sae pada tahun 1987, setahun setelah menempuh pendidikan secara formal di Sekolah Teater dan Film Jakarta. Kerja keaktorannya bersama Teater SAE adalah : Teriakan-Teriakan Gelap karya Rolf Lauchner, Rumah Yang Dikuburkan karya Sam Shepard, Sweeney Todd HELP Seorang Tukang Cukur. Juli 1989 ia mendirikan Kelompok Teater Kami. Bekerja sebagai aktor, Penata Artistik, Pewujud dan sekaligus Pimpinan Produksi dalam setiap pemanggungannya. Teks dramatik yang telah dibuatnya adalah : Berita Cuaca 1989, Resolusi Tiang Gantungan 1990, Masyarakat Diam 1991, Bicara Pada Bulan 1992, Metamorfosa Api 1992, Fragmentasi Suatu Bencana Yang Diandaikan 2000, In Memoriam Tanah Dan Air Api...Cuah! 2002, Perkamen Tanah Yang Sedih 2007. Pada Tahun 1994, bersama dengan teaterawan Hare Rumemper, tinggal di Sintang, Kalimantan Barat selama 6 bulan dengan dibiayai oleh Pemda setempat guna menggali potensi kebudayaan masyarakat Dayak. Dari pengamatan dan penggaliannya terhadap potensi seni budaya masyarakat Dayak tersebut terciptalah sebuah pemanggungan berjudul Dara Muning yang teks dramatiknya ditulis oleh Ratna Sarumpaet berdasar mitos yang hidup di daerah itu. Tahun 2000 ia diundang ke Jepang oleh The Japan Foundation untuk mengamati dan mempelajari perkembangan seni pertunjukan di sana. Pada tahun 2003-2005 bekerja sebagai sekretaris program dan sekaligus ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta. Tahun 2004 diundang oleh Universiti Kebangsaan Malaysia sebagai pengamat Festival Seni Teater Melayu ASEAN. Harris Priadie Bah tinggal di Lenteng Agung, pinggiran selatan kota Jakarta bersama kedua anaknya : Salto Karakterika Bah (12 tahun), Salvo Genesis Salibia (5 tahun) dan Ribka Maulina Salibia, istrinya yang juga aktor Kelompok Teater Kami.

Senin, 02 Februari 2009

MANIFESTO KAMI

Kami tidak mengenal engkau, dan sesungguhnya kami tidak tertarik untuk mengenal engkau. Diri kami adalah lebih dari cukup. Diri kami adalah apa yang kami kenal : badan, keringat, otot-otot, tulang, rasa sakit, jeritan, penderitaan adalah organisme yang paling berharga yang masih kami miliki, di samping kegembiraan karena kami masih bisa terus mengkonfrontasi diri kami sendiri lewat proyek kerja teater kami.
Bersamanya kami bergerak menyusun tanda-tanda, menguji kata-kata, menelaah dan mempertanyakan kembali tubuh dan pikiran kami sendiri. Bukan untuk menjadi dirimu. Bukan untuk menjadi semacam dirimu. Kami bekerja mengunjungi teks-teks tentang manusia yang mungkin saja belum lagi terkenali oleh diri kami. Tetapi teks-teks itu tidak pernah berhasil memaksa kami untuk menghidupkan tokoh-tokoh yang telah dinasibkan oleh pengarang yang tak mengenal kami itu, dan kami memang tidak pernah bernapsu untuk membiarkan diri kami diseret-seret ke dalam kerumitan-kerumitan yang disediakan oleh maksud tersebut dalam upaya me’reka-reka kedirianmu.
Karena itu, kami senantiasa lakukan pengujian atas teks-teks. Kami bongkar teks-teks itu agar kami dapat membangun kenyataan terkini dari teks-teks tersebut.
Kami tidak mencari tokoh. Kami adalah tokoh itu sendiri. Kami tidak berpura-pura masuk kedalam karakter peran. Peran itu adalah kami. Kami yang menafsirkan teks-teks itu, maka kamilah itu. Sang penafsir. Bukan pemain. Kami tak memainkan peran apa pun.
Lewat badan kami, pikiran kami, tulang dan otot-otot kami, pengalaman kami, penderitaan kami, rasa senang kami, kami ciptakan sebuah dunia, sebuah dunia dengan realita nyata yang kami bangun dengan imajinasi kami. Bukan sebuah dunia baru yang kami cipta, tetapi dunia palsu yang kami tanggalkan.
Tak ada tempat bagi kemalasan, kecengengan, dan masalah-masalah pribadi dalam proses kerja teater kami. Kami buka topeng dan baju keseharian kami yang normatif untuk menemui biografi tubuh kami yang telanjang. Tidak mudah memang, tetapi cukup sulit bagi kami untuk menyerah.
Kami tidak perduli dengan apa yang dirayakan oleh sebagian orang teater dengan gelap mata itu, apa yang dengan bangga mereka sebut sebagai seni media baru, atau seni visual atau multi media. Kami bukan penganut budaya kawin silang itu. Kami telah mengasingkan diri kami dan memutuskan hubungan (yang memang tak pernah kami jalin itu) dengan mahkluk yang bernama asing tersebut. Segala sesuatu yang bukan inti dari teater, kami minimalisir - kalau tidak bisa kami hapuskan sama sekali - ke titik terendah dalam kerja kreatif kami.
Bukan tanpa resiko keputusan ini kami ambil, mereka bisa dengan mudah memasukan kami kedalam tuduhan : kuno dan ketinggalan zaman. Kami tidak perduli. Kami adalah fundamentalis yang kalian kenal itu.
Teater, bagi kami adalah aktor, dan itu adalah tubuh, itu adalah manusia, bukan screen yang mendedahkan gambar-gambar rekayasa, atau tumpukan perabot-perabot panggung, kostum, rias, setting atau pencahayaan yang spectacle. Karenanya kami patut bersepakat dengan si Polandia “miskin” itu yang menyebut kaum penganut paham kawin seni blasteran itu sebagai kleptomania artistik. Seberapapun jauhnya teater ber’evolusi dia tetap tidak bisa mengkhianati dirinya yang asali, yakni badan, keringat dan bau.
Media TV, Film boleh mengambil apa saja yang di punyai teater, tetapi satu hal yang tidak akan pernah bisa mereka ambil adalah bau dan keringat tubuh-tubuh sang penafsir, dialah aktor. Teater menyediakan keintiman dengan publiknya, ini mengandaikan ketakberjarakan antara aktor dan penontonnya, itulah roh yang tidak akan dapat dibeli dengan berapapun harga. Dan teater harus tahu diri akan hal itu. Kalau tidak mau mengingkari dirinya sendiri.